BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada pria dan wanita. Selama 50 tahun terakhir terdapat suatu peningkatan insidensi paru – paru yang mengejutkan. America Cancer Society memperkirakan bahwa terdapat 1.500.000 kasua baru dalam tahun 1987 dan 136.000 meningggal. Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 1993 dilaporkan 173.000/tahun, di inggris 40.000/tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanhyak. Di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998 tumor paru menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan leher rahim. Karena sistem pencatatan kita yang belum baik, prevalensi pastinya belum diketahui tetapi klinik tumor dan paru di rumah sakit merasakan benar peningkatannya. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65 %), life time risk 1:13 dan pada wanita 1:20. Pada pria lebih besar prevalensinya disebabkan faktor merokok yang lebih banyak pada pria. Insiden puncak kanker paru terjadi antara usia 55 – 65 tahun.
Kelompok akan membahas Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru dengan kasus pada tuan J. Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang efektif dana mampu ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden kanker paru melalui upaya preventif, promotof, kuratif dan rehabilitatif.
B. TUJUAN PENULISAN.
Mahasiswa mampu untuk memahami pengertian, etiologi, klasifikasi, stadium, pathway, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan pada klien dengan kanker paru.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS.
A. PENGERTIAN.
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).
Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasi dalam paru (Underwood, Patologi, 2000).
B. ETIOLOGI.
Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :
1. Merokok.
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
2. Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi operatif.
3. Kanker paru akibat kerja.
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan insiden.
4. Polusi udara.
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota.
( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).
5. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen.
b. Tumor suppressor gene.
c. Gene encoding enzyme.
Teori Onkogenesis.
Terjadinya kanker paru didasari oleh tampilnya gen suppresor tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau penyisipan (insersi/ inS) sebagian susunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiah- programmed cell death). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan yang autonom. Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetic yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitarnya.
Predisposisi Gen supresor tumor
Inisitor
Delesi/ insersi
Promotor
Tumor/ autonomi
Progresor
Ekspansi/ metastasis
6. Diet.
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
C. KLASIFIKASI.
Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru – paru (1977) :
1. Karsinoma Bronkogenik.
a. Karsinoma epidermoid (skuamosa).
Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Terletak sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada dan mediastinum.
b. Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).
Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki.Tumor ini timbul dari sel – sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ distal.
c. Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang – kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut local pada paru – paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh.
d. Karsinoma sel besar.
Merupakan sel – sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini cenderung untuk timbul pada jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
e. Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.
f. Lain – lain.
1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).
2). Tumor kelenjar bronchial.
3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.
4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma
5). Sarkoma
6). Tak terklasifikasi.
7). Mesotelioma.
8). Melanoma.
(Price, Patofisiologi, 1995).
D. MANIFESTASI KLINIS.
1. Gejala awal.
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
E. STADIUM.
Tabel Sistem Stadium TNM untuk kanker Paru – paru: 1986 American Joint Committee on Cancer.
Stadium IV Setiap T, setiap N,M1
Tidak terbukti adanya tumor primer
Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi
Karsinoma in situ
Tumor dengan diameter ≤ 3 cm dikelilingi paru – paru atau pleura viseralis yang normal.
Tumor dengan diameter 3 cm atau dalam setiap ukuran dimana sudah menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan atelektasis yang meluas ke hilus; harus berjarak 2 cm distal dari karina.
Tumor dalam setiap ukuran dengan perluasan langsung pada dinding dada, diafragma, pleura mediastinalis, atau pericardium tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra; atau dalam jarak 2 cm dari karina tetapi tidak melibat karina.
Tumor dalam setiap ukuran yang sudah menyerang mediastinum atau mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, koepua vertebra, atau karina; atau adanya efusi pleura yang maligna.
Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar limfe regional.
Metastasis pada peribronkial dan/ atau kelenjar – kelenjar hilus ipsilateral.
Metastasis pada mediastinal ipsi lateral atau kelenjar limfe subkarina.
Metastasis pada mediastinal atau kelenjar – kelenjar limfe hilus kontralateral; kelenjar – kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.
Tidak diketahui adanya metastasis jauh
Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu (seperti otak).
Sputum mengandung sel – sel ganas tetapi tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer atau metastasis.
Karsinoma in situ.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 tanpa adanya bukti metastasis pada kelenjar limfe regional atau tempat yang jauh.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 dan terdapat bukti adanya metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral.
Tumor termasuk klasifikasi T3 dengan atau tanpa bukti metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral; tidak ada metastasis jauh.
Setiap tumor dengan metastasis pada kelenjar limfe hilus tau mediastinal kontralateral, atau pada kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular; atau setiap tumor yang termasuk klasifikasi T4 dengan atau tanpa metastasis kelenjar limfe regional; tidak ada metastasis jauh.
Setiap tumor dengan metastsis jauh.
Sumber: (Price, Patofisiologi, 1995).
F. PATOFISIOLOGI.
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < style="font-weight: bold;" size="4">BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus masih terdapat data – data pengkajian, baik berupa identitas klien, riwayat kesehatan, dan laboratorium yang kurang jika kita kaitkan dengan tinjauan teori.
1. Secara ilmu fisiologi dan patofisiologi, proses penyakitnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Dari riwayat merokok Tn. J yang dapat dikatakan sebagai faktor resiko dari Ca Paru. Dari etiologi tau faktor resiko tersebut yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Dari mekanisme diatas dpat menyebakan klein mengeluh sesak nafas dan nyeri. Jika klien merasa tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring, karten pada waktu berbaring pengembangan paru tidak maximal.
2. Dilihat secara histologi, perkembangan yang terjadi pada paru – paru kanan tuan J dapat dikategorikan dalam jenis karsinoma sel skuamosa yang mempunyai hubungan dekat dengan faktor resiko merokok. Tetapi untuk diagnosa yang lebih lanjut (oleh dokter)atau memastikan jenis karsinoma, maka diperlukan pemeriksaan – pemeriksaan lainnya seperti laboratorium, radiology, histopatologi, dan pencitraan.
3. Pemeriksaan diagnostik tambahan yang dapat dilakukan adalah : pemeriksaan laboratorium (sputum, pleural, atau nodus limfe, pemeriksaan fungsi paru dan GDA, tes kulit, jumlah absolute limfosit), pemeriksaan histopatologi, dan pencitraan.
a. Radiologi.
- Foto thorax.
Untuk mengetahui adanya pembesaran massa atau tidak dan letak pembesaran tersebut.
- CT Scan.
Dapat memberikan bantuan lebih lanjut dalam membedakan lesi – lesi yang dicurigai.
- Bronkoskopi.
Bronkoskopi yang sertai dengan biopsi untuk mendiagnosis jenis karsinoma yang terjadi.
- Biopsi kelenjar skalenus.
Cara terbaik untuk mendiagnosis kanker yang tidak terjangkau oleh bronkoskopi.
b. Pemeriksaan Sitologi.
Sputum rutin, dikerjakan terutama bila ada keluhan seperti batuk.
Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil yang berarti karena tergantung pada :
- Letak tumor terhadap bronkus.
- Jenis tumor.
- Teknik mengeluarkan sputum.
- Jumlah sputum yang diperiksa (dianjurkan pemeriksaan 3 – 5 hari berturut – turut).
- Waktu pemeriksaan sputum.
Pada kanker paru yang letaknya sentral pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai 67 – 85 % pada karsinoma sel skuamosa. Sehingga untuk Tn. J dapat dilakukan sitologi ini untuk mamastikan apakah termasuk dalam kanker paru sel skuamosa.
PEMERIKSAAN TUAN J HARGA NORMAL
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Leukosit
Trombosit
Kreatinin 12,6 gr%
34,7 %
4400 ml
191000 /ml
2,40 mg/ml 13 – 18 gr%
42 – 52 %
4500 – 10800 ml
150000 – 300000 /ml
0,5 – 1,4 mg/ml
Pada Tn. J ditemukan hasil laboratorium Hb, Ht, Leukosit, Trombosit mmasih dalam batas normal dan belum ada perubahan yang berarti tetapi biasanya pada keadaan lebih lanjut dapat terjadi anemia dan polisitemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari metastase kanker paru keorgan lain seperti hati, limpa dan tulang belakang, yang berkaitan dengan proses pembentukan dari sel darah merah. Sedangkan polisitemia yang dapat berhubungan dengan merokok cigarette karena kontak dengan karbon monoksida kronik mempertinggi eritrositosis. Hemoglobin diproduksi dan difagositosis terutama di hati, limpa dan sumsum tulang. Dimana pada salah satu proses yaitu sisa hem direduksi menjadi menjadi karbon monoksida (CO) dan beliverdin. CO ini diangkut dalam bentuk karboksi hemoglobin, dan dikeluarkan melalui paru. Jika paru terkena kanker maka proses ini akan mengalami gangguan, dan CO terus dibentuk dan tidak dikeluarkan akan mempertinggi eritrositosis.
Hasil laboratorium kreatinin meningkat, ini menunjukkan bahwa Tn. J fungsi ginjalnya sudah mulai terganggu. Ini disebabkan ekstra torak. Penyebaran ekstra torak tergantung dari tempat metastase. Struktur yang sering terkena adalah kelenjar getah bening skalenus (terutama pada tumor paru – paru), adrenal (50%), hati (30%), otak (20%), tulang (20%), dan ginjal (15%).
• Nilai tersebut 12,6 gr % ( N: 13-14 gr %)
Berarti turun 0,4 % perlu dari observasi, bila penurunan tersebut terjadi secara signifikan maka perlu diberikan transfusi darah. 1 Olef (250 cc menaikkan 0,5 mg tersebut ).
• Nilai tersebut 34,7 % Normal
Terjadi penurunan komponen sel-sel darah merah dalam plasma hal ini dikarenakan sel-sel cancer pada Tn.J akan merusak sel darah merah( hemolisis ).
• Leukosit 4400/ ml ( N : 4000-10000 / ml )
Pada TN.J belum terjadi penurunan, tetapi biasanya pada Ca paru akan terjadi Leukopenia karena fungsi sel darah putih akan dirusak oleh sel-sel cancer.
• Trombosit 191000 / ml ( N : 150-450 ribu )
Trombosit : Normal tetapi perlu diobservasi adanya penurunan trombosit. Karena pada Ca paru stadium lanjut akan terjadi pendarahan / hemoptomesis.
• Kreatinin 2 mg / dl ( N : 0,3-1,1 mg / dl )
Pada Tn.J terjadi kenaikan kreatinin yang cukup signifikan, yang mengindikasikan kerusakan ginjal. Ini bisa disebabkan karena ginjal diperdarahi oleh arteri renalis. Arteri ini menyalurkan O2 dari paru-paru, pada Ca paru-paru O2 turun sehingga darah yang dibawa oleh arteri renalis miskin O2 sehingga akan merusak ginjal dan kemampuan filtrasi pada glomerulus akan mengalami penurunan yang menyebabkan kreatinin naik karena banyaknya lolos waktu yang di filtrasi.
4. Jika dilihat secara farmakologi, pengobatan yang diberikan pada Tn. J masih kurang tepat. Jika di kaitkan denga keluhan pasien memang obat yang diberikan dapat meringankan gejala saja, tetapi khusus untuk penyakitnya (Ca Paru) belum dapat menyembuhkannya. Untuk kanker paru pengobatannya lebih bersifat pembedahan. Chemotherapi juga sangat penting untuk diberikan sebagai pembunuh sel-sel kanker dosis pemberian disesuaikan dengan derajat keganasan Ca pada TN. J
Aminophillin : Tn. J mendapat terapi Aminophillin 3 X 500 mg. Diberikan aminophillin karena merupakan obat bronkodilator yang membebaskan obstruksi jalan nafas seperti pada asma kronis dan mengurangi gejala dari penyakit kronik, juga merupakan salah satu derivate Xanthine yang mempunyai kegunaan sebagai perangsang pernafasan dengan relaksasi otot polos bronkus. Alangkah baiknya Aminoppilin dimasukan secara perdrip.Hal ini dimaksudkan supaya kerja Aminoppilin sebagai bronkodilator lebih cepat dibandingkan peroral [kasus], karena pada kasus Tn. J mengalami sesak nafas berat, baru setelah sesak nafasnya berkurang baru bisa diberikan peroral. Perlu ditambahkan data BB dan TB untuk menentukan dosis obat yang diberikan
Dexamethason : tidak mempunyai efek langsung pada otot polos saluran nafas, tetapi hanya untuk menurunkan jumlah dan aktivitas sel – sel yang terlibat dalam inflamasi saluran nafas. Golongan steroid anti inflamasi mengurangi inflamasi dengan menghilangkan, menghambat pelepasan leukotrien reaktivitas bronchial sangat berkurang.
Menurut DOI yaitu 0,4-0,6 mg / Kg BB di buat rata-rata: 0,5 mg / Kg BB, karenatidak ada data BB, misal diperkirakan Tn. J. 50 Kg:
Berarti : 50 Kg x 0,5 mg = 250 mg / hr, sedangkan dosis Tn. J : 3 x 2 ampul x 1 ampul = 5 mg
= 3 x 10 ampul
= 3 x 50 ampul = 300 mg / hr
Antibiotik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi yang akan terjadi, karena pada kanker paru terjadi lesi pada lapisan pleura dan jaringan yang lain apabila sudah bermetastasis sehingga dapat terjadi hemoptisis. Dengan adanya hemoptisis sebagai indikasi perdarahan didalam tersebut dapat menyebabkan infeksi, dimana kanker paru dapat menyebar secara hematogen yang memungkinkan membawa agen virus atau bakteri. Tetapi pada pasien Tn. J nilai leukositnya masih normal : yaitu 4400 ( N : 4000-10000). Sehingga berdasarkan terapi rasional untuk sementara antibiotic belum perlu untuk diberikan.
5. Terapi cairan yang diberikan kepada Tn. J yaitu RL 12 tts/menit, lebih dimaksudkan sebagai cairan untuk transport obat yang diberikan. Biasanya pemberian aminophillin dalam bentuk drip. Tetapi dapat disaran untuk memberikan infuse dextrose 5% karena mengandung glukosa sebagai penambah energi, karena indikasi klien mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan akan nutrisi dan cairan yang dapat disebabkan rasa tidak nyaman didada dan sesak nafas. Selain itu dari hasil analisa kelompok, perlu ditambahkan therapy O2 karena pada kasus Ca paru, kerja paru menurun sehingga produk O2 kuat untuk dibawa ke jantung dan disirkulasikan ke seluruh tubuh.
6. Pengaruh yang mungkin terjadi pada Tn. J pada status pernafasannya yang akan dilakukan Anesthesi General umum :
a. Apneu.
b. Arrest.
c. Hipotensi
d. Ancaman gagal nafas
Hal – hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tindakan post operasi yaitu :
a. Observasi tanda vital dan keadaan umum.
b. Posisi pasien ditempat tidur
c. Pantau drainage
d. Ventilasi dan reekspansi paru
e. Evaluasi mobilitas ekstremitas atas pada sisi yang dioperasi.
f. Pemantauan insisi terhadap perdarahan atau emfisema subkutan.
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN.
1. Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada wanita maupun pria, yang sering kali di sebabkan oleh merokok.
2. Setiap tipe timbul pada tempat atau tipe jaringan yang khusus, menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda, dan perbedaan dalam kecendrungan metastasis dan prognosis.
3. Karena tidak ada penyembuhan dari kanker, penekanan utama adalah pada pencegahan misalnya dengan berhenti merokok karena perokok mempunyai peluang 10 kali lebih besar untuk mengalami kanker paru di bandingkan bukan perokok, dan menghindari lingkungan polusi.
4. Pengobatan pilihan dari kanker paru adalah tindakan bedah pengangkatan tumor. Sayangnya, sepertiga dari individu tidak dapat dioperasi ketika mereka pertama kali didiagnosa.
5. Asuhan keperawatan pascaoperasi klien setelah bedah toraks berpusat pada peningkatan ventilasi dan reekspansi paru dengan mempertahankan jalan nafas yang bersih, pemeliharaan sistem drainage tertutup, meningkatkan rasa nyaman dengan peredaran nyeri, meningkatkan masukan nutrisi, dan pemantauan insisi terhadap perdarahan dan emfisema subkutan.
B. SARAN.
1. Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kanker Paru diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan kanker paru misalnya mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok, memperhatikan lingkungan kerja terkait dengan polusinya.
3. Dukungan psikologik sangat berguna untuk klien.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta
Long, Barbara C, (1996), Perawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Holistik, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung.
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Minggu, 11 Januari 2009
hella
Langganan:
Postingan (Atom)